Karya Sastra Eksil Sebagai Ungkapan Kesepian Utuy TS


Karya Sastra Eksil Sebagai Ungkapan Kesepian Utuy TS[1]


Oleh: Iryan Ah[2]

Perempuan setengah baya itu sedang bingung mencari sebuah makam di tengah pemakaman kota Moskwa. Barangkali di kompleks pemakaman itu ada sekitar ribuan orang yang dikuburkan. Tetapi, perempuan itu sekadar mencari letak pemakaman orang Islam di tengah sebuah kota yang konon dibangun megah atas kekuasaan rezim komunisme. Bukankah suatu anomali apabila ada pemakaman orang Islam di tengah kota yang mungkin sebagian besar penduduknya beragama Nasrani dan lainnya tidak beragama? Tetapi, kenyataan itu memang ada. Dan, bagi perempuan bernama Prof. Ludmila Demidyuk itu, Utuy Tatang Sontani merupakan orang Islam pertama yang dimakamkan di tengah kota Moskwa. Guru besar sastra Indonesia Universitas Negeri Moskwa itu mencari makam Utuy Tatang Sontani, sebab ia merasa dekat dengan pribadi Utuy semenjak kedatangannya di Rusia akibat tak betah di negeri Tiongkok pada 1971[3]. Ludmila merupakan teman dekat Utuy di Uni Soviet (Rusia), sebelum akhirnya ia wafat di tahun 1979.
Sampai berapa saat kemudian, makam Utuy tidak dapat ditemukan Ludmila. Ludmila pun akhirnya pasrah, menganggap bahwa di antara ribuan kuburan muslim itu ada makam Utuy, karena itu ia menabur bunga di kompleks pemakaman Islam sebagai bentuk penghormatan terhadap karibnya[4]. Ludmila mengenang Utuy sebagai salah seorang sastrawan Indonesia yang kesepian di tengah perantauan Uni Soviet. Ia wafat di tengah kerinduan akan istri dan anak-anaknya—serta kesendirian karena mengasingkan diri dari teman-teman eksilnya di Uni Soviet. Apa boleh buat, Utuy tak bisa pulang ke tanah air dan harus menjalani kehidupan di perantauan akibat stigma “orang buangan”, eksil, “orang klayaban” atau “orang pelarian” akibat geger peristiwa G 30 S 1965.
Sebelum geger peristiwa G 30 S 1965 terjadi, Utuy Tatang Sontani dan ratusan orang Indonesia sudah berada di Tiongkok. Rombongan itu hadir dalam acara peringatan hari pembebasan nasional Tiongkok ke-16. Dan, Utuy merupakan salah seorang delegasi “selundupan” atas rekomendasi karibnya D.N Aidit untuk mengobati penyakit levernya di Tiongkok. Barangkali tidak sekadar Utuy yang sakit dan pergi ikut rombongan ke Tiongkok, karena itu rombongannya disebut “delegasi sakit”[5]. Selang tiga hari setelah kedatangannya di Tiongkok, peristiwa G 30 S 1965 terjadi di Jakarta. Akibat dari peristiwa itu bagi orang Indonesia di Tiongkok ialah supaya orang-orang PKI belajar tentang kegagalan kup 1965, dan mempelajari gagasan Mao-Ce Tung untuk keberhasilan revolusi lanjutan berikutnya di Indonesia. Hal ini sungguh tak dinyana Utuy bahwa gagasan Mao-Ce Tung harus didewakan orang Indonesia. Ada yang setuju, ada pula yang menolak. Ada yang menginginkan untuk pulang ke tanah air, ada pula yang memang ingin belajar gagasan Mao. Akhirnya muncul konflik di kalangan orang Indonesia. Hal itu menyebabkan dikurungnya orang Indonesia di kamp konsentrasi militer Tiongkok. Jelas-jelas, hal itu dirasakan Utuy sebagai penghinaan, mengingat ia merasa namanya sudah dikenal kalangan sastrawan Tiongkok dan karyanya banyak dibaca orang Tiongkok. Tapi, apa boleh buat, di mata militer Tiongkok, Utuy tidak lebih dari orang pesakitan Indonesia yang mesti diajari kembali gagasan komunisme ala Tiongkok.
Sekitar enam tahun Utuy hidup tengah kamp pengungsian orang Indonesia di Tiongkok sembari menjalani perawatan karena sakitnya, hingga akhirnya memilih hengkang ke Uni Soviet. Alasan Utuy pergi ke Uni Soviet dikarenakan ia sendiri pernah ke Uni Soviet dan karya-karya Utuy yang diterjemahkan ke dalam bahasa Soviet mendapat sambutan hangat dari masyarakatnya. Di Uni Soviet, akhirnya Utuy mendapat kesempatan untuk menjadi seorang profesor tamu bahasa Indonesia di Universitas Negeri Moskwa, sampai akhirnya wafat di tahun 1979. Utuy wafat disebabkan oleh derita penyakit stroke, dan sebagai penghormatan terakhir, jenazah Utuy mendapat upacara penghormatan terakhir dari Universitas Negeri Moskwa. Utuy dimakamkan di kota itu, dan entah berasal dari sumber mana, Utuy merupakan orang Islam pertama yang dimakamkan di Moskwa. Tentu, kebenaran sumber itu sulit dibuktikan, sehingga tidak perlu diperhatikan.
Akan tetapi, yang penting untuk diperhatikan, keberadaan makam Utuy itu tidak sekadar penting bagi Ludmila Demidyuk sebagai karibnya di Uni Soviet, melainkan penting bagi orang-orang Indonesia yang tengah berpolemik dan berusaha damai setelah tiga puluh tahun pascaperistiwa G 30 S 1965. Kuburan Utuy menjadi simbol  adanya “rekonsiliasi” di antara orang-orang eks-1965 yang kembali bersitegang di tahun 1995 akibat penganugerahan hadiah Magsaysay untuk Pramoedya Ananta Toer. Hal itu, berdasarkan penilaian saya atas pencantuman peristiwa ziarah Taufiq Ismail bersama Fadli Zon ke makam Utuy Tatang Sontani di tahun 1996, dan peristiwa itu dicantumkan dalam buku Setelah Politik Bukan Panglima Sastra: Polemik Hadiah Magsaysay Bagi Pramoedya Ananta Toer (2009). Jelas, buku itu penting karena merupakan kumpulan artikel tentang polemik hadiah Magsaysay untuk Pram. Pram dinilai tidak layak mendapatkan hadiah Magsaysay, sebab ia merupakan orang yang dahulu sering mencela bahwa hadiah itu merupakan bantuan Amerika Serikat. Selain itu, Pram sendiri dinilai sebagai orang yang bertanggungjawab atas serangkaian pemboikotan anggota Manifesto Kebudayaan dan pelarangan buku para penulis anggota Manikebu. Mungkin, peristiwa itu tidak terbayangkan Pram, tapi begitulah kelompok Manikebu yang masih menguasai konstelasi politik sastra di tahun 1990-an menganggap Pram tidak layak mendapatkan hadiah Magsaysay.
Namun, di samping itu, ada beberapa kalangan yang prihatin atas penolakan penganugrahan hadiah Magsaysay terhadap Pram. Seperti Rendra, Ajip Rosidi, Arief Budiman, dan entah mungkin siapa lagi yang karangannya tidak dimuat dalam buku itu, mendukung atau setidaknya menganggap wajar agar Pram mendapatkan hadiah Magsaysay. Sebab, ia memang layak mendapatkannya atas jerih payah karya sastranya. Di tengah arus polemik hadiah Magsaysay melalui tulisan-tulisan itu dan dibendel dalam satu buku, lantas mengapa buku polemik itu mencantumkan peristiwa ziarah ke makam Utuy Tatang Sontani[6] (lihat gambar di bawah ini)? Apakah Utuy memiliki keterkaitan dengan peristiwa polemik itu? Atau, Utuy punya keterkaitan dengan orang-orang yang tengah berpolemik itu? Jika tidak begitu, apa pencantuman gambar di bawah ini memang bagian dari kesenangan Taufiq Ismail[7] semata? Saya tidak tahu pasti. 
Akan tetapi, dari sini saya menarik anggapan bahwa pencantuman momen itu disebabkan arti kehadiran orang-orang yang dahulunya pernah terlibat di tahun 1960-an, yakni Asrul Sani, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, W.S Rendra, Ajip Rosidi, Arief Budiman, Bokor Hutasuhut, Bur Rasuanto, Wiratmo Soekito, dll. Mereka adalah orang-orang yang pada tahun 1960-an merasa sakit hati akibat ulah Pram. Karena itu, ketika mengetahui Pram mendapatkan hadiah Magsaysay 1995, mereka tampak balik menyerang terhadap ulah Pram di tahun 1960-an. Mungkin, dari sederet penulis, tidak semuanya berposisi sebagai penyerang, melainkan ada yang menganggap wajar dan sudah selayaknya apabila Pram mendapatkan hadiah Magsaysay. Tetapi, dari peristiwa munculnya orang-orang di tahun 1960-an pada polemik 1995, dengan menyertakan foto dan profil Utuy Tatang Sontani, ini mengingatkan tentang arti masa lalu bagi kehidupan mereka saat itu. Apakah masa lalu itu dianggap sudah selesai? Nyatanya, bagi mereka masa lalu belumlah selesai. Karena itu, mereka menuntut agar Pram mengakui kesalahannya di masa 1960-an untuk masyarakat yang hidup pada 1990-an.
Namun, mungkin karena Pram merupakan seorang yang keras kepala dan tidak mudah tunduk, karena itu sepertinya mencantumkan nama Utuy di tengah buku kumpulan polemik itu menjadi penting. Sebab, Utuy sudah wafat, dan ketika foto itu dicantumkan layak dicatat bahwa mereka (pihak yang diwakili Taufiq Ismail) sudah “berdamai” dengan Utuy di makamnya. Atau, Taufiq sebagai muslim hanya ingin mendoakan Utuy agar di akhiratnya diampuni dosanya—terlebih ada anggapan dikotomistik yang sulit dihilangkan antara yang komunis dan nonkomunis yakni yang tidak bertuhan dan bertuhan, serta pandangan itu juga berlaku di kalangan cendikiawan atau sastrawan nonkomunis. Karena itu, barangkali, peristiwa ziarah itu sebagai bentuk permohonan ampun dari Taufiq Ismail kepada Allah untuk dosa Utuy?
Di samping itu, yang perlu disoroti di sini ialah tentang arti kehadiran Utuy Tatang Sontani sebagai simbol yang mewakili atas tindakannya sendiri atau juga rekan-rekannya. Utuy dinilai mewakili perannya sebagai anggoata Lekra. Lekra sendiri merupakan organisasi kebudayaan yang kerap berseteru dengan organisasi-organisasi kebudayaan lain, seperti Manikebu dan Lesbumi. Ketika itu, organisasi kebudayaan kerap kali menjadi media agitasi politik atas kepentingan politis atau partai politik tertentu. Karena itu, dalam setiap pentas ide kebudayaan di tingkat nasional seringkali terjadi konflik atau ketegangan yang akhirnya memang menjadi tidak sehat dalam arti kebudayaan itu sendiri. Sehingga, yang lebih tampak ialah pertarungan kepentingan politik dengan cara-cara strategi politik tertentu. Sebelum terjadinya peristiwa G 30 S 1965, Lekra seolah berada “di atas angin”, sementara kelompok seteru Lekra hampir tidak didukung oleh kekuasaan pemerintahan kala itu sehingga merasa tertekan. Akibatnya, ketika meletus peristiwa 1965, keadaan menekan balik atas kelompok Lekra. Dengan demikian, kepentingan dan rasa dendam mewarnai kehidupan kelompok kebudayaan kala itu, sampai polemik hadiah Magsaysay itu.
Dengan begitu, dalam benak saya muncul anggapan, apakah keberadaan foto pemberitaan itu tidak lain sebagai bentuk simbolik atas “pembaptisan” tobat Utuy karena keterlibatannya di Lekra? Memang ia pernah menjadi anggota Lekra semenjak tahun 1959, meskipun tidak diketahui secara pasti alasan Utuy masuk jajaran anggota kepengurusan Lekra. Ia sendiri merupakan seorang penulis yang karakter penokohan dalam karya-karyanya terkesan dialektis-materialis, sehingga terkesan eksistensialis-individualis. Itu terlihat dari sejumlah karyanya seperti Suling (1948) serta Awal dan Mira (1951). Karena itu, Pramoedya Ananta Toer pernah menyebutnya sebagai penulis yang pesimis akan kehidupan lingkungan sosialnya[8]. Karena itu, bukankah suatu kejanggalan apabila melihat karakter Utuy yang cenderung individualis, pendiam, dan tidak suka banyak baca buku alias berteori, lalu kemudian hari terdaftar sebagai pengurus Lekra? Tetapi, kondisi pertarungan politis dari aliran-aliran kesusastraan dan kebudayaan membuatnya terpojok serta harus memilih di antara yang ada. Dalam hal ini, strategi non-Lekra yang menekan Utuy di pihak lain, dan di lain pihak kelompok Lekra yang merangkul Utuy, sehingga Utuy memilih secara sadar masuk dalam kepengurusan Lekra. Ketika itu, memang tidak banyak sastrawan Sunda yang masuk dalam jajaran Lekra. Sebab itu, Ajip Rosidi menilai masuknya Utuy ke dalam jajaran Lekra suatu keanehan[9]. Selain itu, seperti kata Ajip Rosidi sendiri, ketika Utuy ditemuinya pada tahun 1975 di Uni Soviet, bahwa sesungguhnya Utuy sempat mengeluhkan dan penyesalannya atas peristiwa yang dialaminya[10]. Karena itu, apa rasa penyesalan Utuy kemudian dianggap sebagai pertobatan atas ulah di masa lalunya, dan dapat dianggap sebagai percontohan agar diikuti oleh rekan Utuy di Lekra yang lainnya? Apabila demikian adanya, bukankah ide rekonsiliasi itu merupakan ajakan sepihak dengan cara menekan orang yang dinilai bersalah secara sepihak untuk menciptakan rasa bersalah sendiri serta mengakuinya? Karena itu, mungkinkah usaha rekonsiliasi tercipta di tengah pusaran kuburan?
Kemudian, apakah lantas Utuy dapat dikatakan sebagai representasi dari sejumlah kalangan anggota Lekra untuk usaha simbolik rekonsiliasi? Barangkali anggapan itu memang dapat berlaku di kedua belah pihak yang berseteru. Tetapi, saya kira, Utuy bukanlah apa-apa jikalau dinilai sebagai representasi dari usaha rekonsiliasi konflik lama itu. Pramoedya sendiri yang pada tahun 2000-an jadi ikon sastrawan Kiri “jebolan” 1965 dan pernah melakukan debat komunisme yang kemudian diakhiri dengan jabat tangan antara Pram dan Taufiq Ismail bisa jadi tidak bisa dianggap selesai[11]. Begitu pula ketika Gus Dur menawarkan gagasan rekonsiliasi nasional, Pram menanggapinya dengan dingin. Karena itu, usaha tampilan “rekonsiliasi” yang ditampilkan Taufiq Ismail di buku Setelah Politik Bukan Panglima Sastra itu semata-mata hanya ingin mendoakan agar dosa Utuy diampuni sekaligus dianggapnya sudah bertobat. Lantas, siapa lagi yang akan bertobat?
Memang, gagasan rekonsiliasi nasional pasca-1965 sudah muncul sejak wacana reformasi 1998. Hal itu terlihat semenjak Presiden Habibie membubarkan Departemen Penerangan serta melarang kewajiban pemutaran film Pemberontakan G 30 S/PKI di televisi, yang dahulu dahulu wajib ditayangkan. Langsung atau tidak langsung, hal ini menjadi sinyalemen bahwa Pemerintah mengakui kesalahan sesungguhnya. Kemudian, selang tahun berikutnya, Presiden Gus Dur mengusulkan agar dicabut Tap MPRS No. 25/1966 tentang pelarangan ajaran komunisme, marxisme, leninisme serta pemulangan “orang-orang klayaban” yang ada di luar negeri atau eksil untuk pulang ke Indonesia[12]. Tetapi, sayang, usaha pencabutan Tap MPRS No. 25/1966 itu mendapat perlawanan di parlemen, dan itulah salah satu alasan penggulingan Gus Dur dari kursi presiden.

Corak Eksil
Menurut Utuy Tatang Sontani, hidup diasingkan (exiled) ibarat tragedi Ciung Wanara[13]. Ciung Wanara merupakan cerita rakyat yang populer di Jawa Barat. Ciung Wanara sendiri menceritakan tentang perjalanan hidup seorang putra raja dari keturunan permaisuri yang sengaja dibuang akibat intrik persaingan antaristri raja. Alkisah, selir raja berkeinginan agar putranya yang menjadi putra mahkota, bukan anak dari permaisuri. Nama putra sang permaisuri itu ialah Ciung Wanara. Ketika dilahirkan, Ciung Wanara yang lahir dari rahim sang permaisuri sengaja ditukar dengan seekor anjing oleh sang selir, dan Ciung Wanara sendiri dibuang ke sungai. Cerita itu mirip kisah Nabi Musa. Ciung Wanara pun mengalami pembuangan, pengembaraan, hingga penemuan dirinya di tengah perantauan. Sampai suatu ketika, Ciung Wanara dapat kembali ke tengah kehidupan kerajaannya. Di akhir kisah, Ciung Wanara bertarung dengan sang anak selir, dan dimenangkan oleh Ciung Wanara. Putra sang selir pun terlempar akibat tendangan Ciung Wanara hingga melewati Sungai Citanduy. Ciung Wanara pun menjadi raja.
Apabila dalam kisah di atas Ciung Wanara dapat kembali ke kerajaannya dan menjadi raja, apakah hal itu juga dialami Utuy Tatang Sontani yang mengalami pembuangan pascaperistiwa 1965, bisa kembali ke tanah airnya lalu menjadi sang “pemenang”? Utuy Tatang Sontani merupakan salah seorang sastrawan Indonesia yang mengalami pengasingan atau pembuangan oleh kekuasaan Orde Baru akibat peristiwa 1965. Waktu peristiwa G 30 S 1965 itu terjadi, Utuy tengah berada di negeri Tiongkok. Bersama rombongan PKI dan “keluarga organisasi” PKI lainnya[14] yang menghadiri acara perayaan hari pembebasan nasional Tiongkok ke-16 di bulan September 1965, Utuy merupakan “delegasi sakit” yang sengaja dikirim ke negeri Tiongkok bersama rombongan politik. Pada saat peristiwa malam G 30 S 1965 terjadi, orang Indonesia yang berada di Tiongkok itu tak bisa pulang karena dua alasan. Pertama, alasan yang datang dari Indonesia sendiri bahwa orang-orang cap komunis dicabut paspor alias tidak diperkenankan masuk kembali ke Indonesia. Kedua, alasan para pemimpin partai komunis Tiongkok yang mengharuskan orang-orang Indonesia itu untuk mempelajari pergerakan komunisme yang ada di Tiongkok[15]. Pada titik ini, Utuy sangat merasa terpukul karena tidak bisa kembali ke Indonesia, dan peristiwa itu dinilai sebagai “usaha penyelamatan dirinya” atas heboh peristiwa G 30 S 1965 di Indonesia. Sampai pada akhirnya, Utuy wafat di Rusia pada 1979.
Selain Utuy, ada sekitar ribuan orang Indonesia yang mengalami pengasingan akibat peristiwa itu. Ribuan orang itu merupakan para simpatisan PKI yang tengah berada di luar negeri, entah sebagai duta besar, pelajar, wartawan, atau anggota Lekra yang menghadiri acara ulang tahun partai komunis Tiongkok pada 1965. Kemudian, mereka tidak bisa kembali ke tanah airnya dikarenakan Orde Baru trauma PKI[16]. Mereka pun mengalami pengasingan dari negerinya sendiri, hidup di tengah perantauan, bahkan akhirnya meninggal di tanah pengasingan, seperti yang dialami Utuy. Hal inilah yang kemudian menyebut mereka sebagai orang eksil.
Eksil merupakan istilah yang berasal dari bahasa Latin yakni exsilium. Artinya, pembuangan. Sementara itu, orang yang dibuang disebut exsul. Dengan kata lain, eksil merupakan suatu istilah khusus untuk menyebutkan tragedi pembuangan atau pengasingan. Entah hal itu dikarenakan didesak oleh kekuasaan pemerintahan tertentu yang mendesak warganya keluar dari tempat kelahirannya, atau justru karena pilihannya sendiri untuk mengasingkan diri[17]. Mengenai hal ini, batas antara kondisi dipaksa atau terpaksa sangat tipis. Artinya, ada kondisi di mana memang dipaksa untuk diasingkan, atau justru memilih mengasingkan sendiri. Semisal, beberapa sastrawan Indonesia sebelum 1965, seperti Achdiat Kartamihardja, Idrus dan M. Balfas, adalah orang-orang yang dipengaruhi oleh keadaan sosial-ekonomi-politik tahun 1960-an untuk hengkang serta memilih mengajar di kampus luar negeri. Mereka pindah ke Australia dan Malasyia. Pada masa yang sama juga, banyak tokoh politikus diasingkan. Begitupun pasca 1965, banyak aktivis, politikus dan sastrawan yang sengaja diasingkan oleh rezim otoritarianisme birokratik Soeharto.
Kemudian, dengan adanya tragedi eksil, apa latar belakang masalah terjadinya peristiwa pengasingan (exiling)? Untuk membedakan satu peristiwa dengan lainnya, perlu dibedakan latar belakang awal peristiwa pengasingan itu, semisal latar ekonomi, sosial, atau politik[18]. Memang, apabila mengikuti tentang latar belakang, pengertian dan penjabaran, masalah eksil menjadi begitu luas. Karena itu, mengapa tidak disebut sebagai tragedi kekuasaan? Bukankah pengertian kekuasaan sangat meluas pada aspek penguasaan akan politik, ekonomi atau kondisi sosial? Lalu, sesungguhnya ada motif kekuasaan apa dibalik adanya tragedi eksil? Atau, mengapa cara-cara pengasingan kerap digunakan dalam mendirikan dinasti kekuasaan?
Maka sebagai gambaran, semisal, saya merangkum ada tiga taktik pengasingan untuk masyarakat pribumi oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Yang kehendak kekuasaannya dalam setiap periode itu berbeda. Pertama, pengasingan pribumi sebagai hadiah sekaligus teknik memecah kekuasaan pemerintahan lokal demi kepentingan orang Belanda di Kepulauan Nusantara. Pada awal abad ke-17, pernah terjadi pengiriman empat orang pewaris tahta kerajaan di Ambon ke Belanda. Tujuannya ialah memikat hati raja agar sang penguasa lokal yang diwakili anak-anaknya dapat membuktikan kabar “kebohongan orang Portugis” tentang orang Belanda di Ambon. Di samping itu, hadiah yang diberikan kongsi dagang VOC itu juga sebagai usaha Kristenisasi atau pengenalan pemberadaban Barat[19]. Dengan demikian, hal itu bisa dimaknai sebagai hadiah, strategi politik pengasingan atau upaya “tanggung jawab moral”.
Atau dalam kasus yang sama, pada peristiwa lain di awal abad XX, ada seorang ibu dan anak mendapatkan hadiah liburan ke negeri Belanda. Sang ibu bernama R. Ajoe Abdoerrahman merupakan seorang istri ambtenaar. Kisah perjalanannya ke Eropa diceritakan dalam buku memoarnya Lalampahan Ka Eropa[20]. Ajoe sangat mengagumi bangunan dan kehidupan masyarakat Eropa. Dengan begitu, menurut Ajoe, semestinya masyarakat di Hindia harus belajar pada orang Eropa. Lalu, apa maksud “belajar dari Eropa” Ajoe itu? Apakah meniru cara kehidupan orang Eropa? Mengkaji kehidupan orang Eropa untuk kemajuan orang di Hindia? Atau, memaklumi keberadaan orang Eropa di Hindia? Karena itu, saya tidak tahu bagaimana cara yang tepat menilai pernyataan Ajoe itu dalam konteks saat ini? Dalam hal ini, maka, saya kira amat tipis antara batas pembuangan dengan penyebutan yang “kasar” dan “halus” untuk motif kekuasaan kolonial.
Kedua, taktik eksil lazim digunakan dalam praktik kekuasaan untuk menyingkirkan orang-orang yang dinilai menggoyahkan tatanan kekuasaan kolonial. Semisal, pada tahun 1920-an, Ki Hadjar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker diasingkan ke Belanda akibat mendirikan Indische Partij. Atau, nasib elit aktivis politik PKI diisolasi tak bisa masuk ke tanah airnya sendiri, seperti Semaun, Darsono, Tan Malaka, Musso dan lainnya. Mereka diintai dan dibatasi ke Hindia Belanda sehingga tidak bisa pulang ke rumahnya sendiri. Oleh karena itu, mereka hanya bergerak mengendap-endap dari kekuasaan kolonial agar tetap bisa mengontrol pergerakan yang terjadi di tanah airnya sendiri. Mungkin nasib mereka lebih beruntung ketika dibuang ke tanah leluhur koloni atau diisolasi tak bisa pulang ke tanah airnya sendiri. Tetapi, ada sekitar ribuan orang Kiri Indonesia yang dibuang ke Boven Digul. Kemudian, mereka disebut dengan istilah Digulis. Mereka yang dibuang merupakan para aktivis politik yang terlibat dalam perlawanan PKI 1926[21].
Di samping pembuangan, pengasingan atau isolasi dari pusat kekuasaan kolonial di tanah Hindia, ketiga, ada para aktivis politik Indonesia awal abad XX yang tidak dibuang ke luar daerahnya, tapi diisolasi dalam tahanan penjara. Pada 1929, Soekarno dipenjara di Sukamiskin Bandung. Ia dituduh “menghasut” masyarakat yang ada di Bandung untuk antikolonial. Hal itu menyinggung perasaan keberadaan pemerintah kolonial. Terlebih, pada waktu itu, Soekarno tengah garang-garangnya menjadi “singa podium” di hadapan masyarakat Bandung mengampanyekan gagasannya tentang kolonialisme dan mengajak masyarakat terlibat di PNI. Usaha Soekarno bernasib sial, ia pun diasingkan. Tetapi, pengasingan yang dihadapi Soekarno bukanlah pembuangan yang dialami para kader PKI 1926 dan pelarangan kepada elit aktivis PKI masuk Indonesia. Soekarno dipenjarakan, sekaligus ini menandakan sebuah peringatan bagi para aktivis lain.
Untuk tantangan saat ini, apakah orang yang memilih bekerja di luar negeri karena tekanan ekonomi dapat dikatakan eksil? Semisal para tenaga kerja wanita asal Indonesia di Hongkong. Apakah para tenaga kerja wanita itu dapat disebut sebagai eksil? Hersri Setiawan, sastrawan yang pernah mengalami pengasingan di Pulau Buru dan kemudian menetap di Belanda, memang membedakan antara eksil politik, ekonomi dan sosial. Para eksil Indonesia akibat peristiwa G 30 S 1965, baik di Eropa maupun di Pulau Buru merupakan eksil politik[22]. Sementara itu, para tenaga kerja Indonesia di negara-negara Timur Tengah, Asean, Asia Timur, dan lainnya dapat dikatakan sebagai eksil ekonomi.
Dengan begitu, dari contoh di atas, peristiwa pembuangan, pengasingan dan pemenjaraan merupakan hal yang lazim digunakan dalam praktik kekuasaan. Apakah semua hal demikian bisa kita kategorikan sebagai eksil? Maka, apabila mengacu pada pengertian dan contoh peristiwa eksil di atas bisa mendapatkan definisi yang luas, tidak sekadar peristiwa isolasi politik atau pengasingan, melainkan tentang motif jalan-jalan untuk sekadar menjadi jubir kebudayaan Eropa—meskipun dalam arti yang harfiah bahwa eksil merupakan tentang kisah pembuangan ke luar negeri. Peristiwa pembuangan atau pemberian hadiah jalan-jalan menjadi tipis dari maksud sesungguhnya, yakni motif politik kekuasaan kolonial[23]. Dari sini, tampak bahwa kita sesungguhnya masih sulit mengidentifikasi akar masalah tragedi pengasingan (exiling) untuk mencocokkan dengan maksud istilah eksil itu sendiri, dan literatur Indonesia masih terbatas untuk menyepakati identifikasi masalah dan penyebutan istilah eksil itu.
Di samping itu, yang menurut saya tak kalah penting, selain latar belakang, melainkan tragedi perpindahan atau pengasingan dari kampung halaman ke “kampung seberang”. Dengan begitu, dapat dikatakan secara sederhana, apapun latar masalahnya, mengapa setiap orang harus mengalami perpindahan atau pengusiran dari tempat asalnya? Lantas, bagaimana cara menjabarkan pengertian perpindahan ruang itu dalam tragedi pengasingan? Apakah dalam kajian eksil Indonesia memiliki konsep batasan pengertian perpindahan ruang ini? Saya kira, sedikit dari sekian banyak orang yang memiliki perhatian terhadap eksil untuk dapat menjabarkan pengertian ruang itu[24]. Kebanyakan orang Indonesia menganggap pengertian ruang dalam istilah eksil merupakan perpindahan ruang antarteritori negara, semisal orang Indonesia diasingkan ke Belanda. Hal itu mungkin dipengaruhi oleh arti kata serapan eksil (exile) dari bahasa Inggris, sementara bahasa Inggris mengartikan sebagai pembuangan atau pengasingan ke luar negeri. Mungkin kecuali Dorothea Schaefter dan Hersri Setiawan yang mendefinisikan eksil sebagai tragedi pembuangan, tidak hanya di luar negeri, melainkan juga di dalam negeri. Saya kira, memang pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa mereka memiliki konsep ruang tersendiri untuk mengkaji eksil, meskipun memiliki keganjilan tersendiri.
Untuk memberikan batasan pada tulisan ini, saya mengambil perspektif bahwa eksil di sini merupakan peristiwa isolasi atau penyingkiran warga negara akan hak-haknya oleh kekuasaan negaranya sendiri, sehingga warga negara itu hidup di tanah perantauan. Pada masa kolonial atau Orde Baru, sesungguhnya ada kecenderungan yang sama atas perlakuan terhadap orang-orang yang dinilai bangkang. Dalam arti bahwa proses eksil yang dilakukan ialah untuk pengasingan di dalam negeri (interneringkamp) atau isolasi dan pengasingan di luar negeri. Lantas, dapatkah pengertian ruang eksil itu diartikan antara dalam negeri dan luar negeri? Apabila menyitir kajian Dorothea Schaefter, bahwa pengertian ruang antara dalam negeri dan luar negeri tidak ada[25]. Tetapi, jikalau mengacu pada gagasan dan pengertian orang Indonesia, maka eksil hanya berlaku pada konteks isolasi atau pengasingan di luar negeri[26].
Dengan demikian, saya ingin membatasi pengertian dan cakupan kajian dalam makalah ini. Pertama, kajian ini mengkhususkan untuk proses penyelenggaraan kekuasaan dalam menyingkirkan warganya, entah langsung atau tidak langsung. Pengasingan itu dilakukan untuk “membuang” duri dari bawah selimut kekuasaan, entah dengan cara disengaja atau memaksa dengan caranya sendiri. Sebab itu, orang yang dinilai menggangu rust en orde diasingkan untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan atau ketentraman dalam arti untuk kelangsungan kekuasaan itu sendiri. Pada titik ini, dengan sendirinya kekuasaan membentuk cap eksil bagi orang yang dibuang atau diisolasinya. Dan, bagaimana keterangan eksil itu dapat menentukan siapa yang lebih superior atau inferior, serta yang merasa dikorbankan. Praktik ini amat menentukan watak inferiorisasi korban dan superiorisasi kekuasaan. Dalam kaitan ini, pascaperistiwa G 30 S 1965, pengebirian orang eksil sangat terasa. Dan, hal ini bisa terlihat dari sekian banyak memoar atau karya sastra yang dihasilkan.
Kedua, apa yang ditulis orang (sastrawan) eksil di dalam memoar atau karya sastranya seolah menyiratkan semacam usaha “penjernihan masa lalu”, pembelaan tindak-tanduk pra 1965, dan penilaian akan praktik kekuasaan pemerintah. Dengan begitu, apa yang dituliskan menyiratkan dalam rangka penelanjangan kekuasaan melalui kacamata individu yang terlibat. Mereka tidak ingin dicap sebagai pembangkang. Oleh karena itu, mereka menolak istilah yang demikian diskriminatif itu. Dan, apa yang mereka sesalkan sungguh menyesakkan, yakni ada gejala betapa “pura-pura bodohnya” masyarakat Indonesia terhadap akibat peristiwa itu, sehingga tidak melahirkan sikap tanggung jawab sejarah pada masyarakat[27]. Oleh karena itu, mereka banyak menerbitkan buku atau memoar tentang kiprah mereka sebelum peristiwa 1965. Lantas, dalam kaitan karya sastra dan memoar status eksil, bagaimana cara menilai terhadap karya sastra dan memoar orang-orang eksil itu sendiri. Saya kira ini memang akan menjadi cakupan yang sangat luas. Karena itu, untuk studi pengantar, penulis mencoba mengambil subjek pada Utuy Tatang Sontani.
Memang, hampir tidak dapat dipastikan kapan istilah eksil muncul dan berlaku bagi orang-orang yang mengalami penyingkiran dari kampung halamannya minggat ke “kampung seberang”. Sebagai objek kajian, topik eksil memang masih terbatas. Kalaupun ada usaha penulis Indonesia atau Indonesianis yang serius mengkaji istilah ini dan proses politiknya hanya dapat dihitung jari. Meskipun banyak dari kalangan pelaku eksil itu sendiri, entah sastrawan, aktivis parpol ataupun wartawan, yang menuliskan pengalaman atau karya sastranya, tapi sekadar kerinduan atau penyesalan atas pengasingan dirinya. Dengan begitu, kadang memang perlu kajian yang serius untuk menelisik topik ini mengingat eksil sebagai tragedi kekuasaan, yang kemudian melahirkan memoar dan karya sastra, sehingga karya eksil dapat diteliti bagaimana pergolakan batin orang-orang eksil dan dalam wacana pascakolonial.
Dalam kerangka wacana pascakolonialisme, korban eksil merupakan suara pinggiran yang sengaja dipinggirkan oleh kekuasaan. Kemudian, mereka berteriak ke tengah gemuruh masyarakat agar dapat didengarkan. Dapatkah suara mereka didengarkan? Sudah sekian lama mereka bersuara, tapi negara “menyumbatnya”, dan masyarakat yang diharapkan mendengarnya malah bersikap “pura-pura bodoh”. Yang mereka inginkan bukan pembelaan atas tindak-tanduk pra 1965. Kemungkinan besar, arti keinginan mereka ialah bahwa generasi berikutnya memahami sejarah sebenar-benarnya (histoire realite), bukan histoire recite.

Eksil dan Sastra Eksil
Sastra eksil merupakan suatu terminologi untuk menyebut para sastrawan yang sengaja dibuang atau diisolasi dari negeri asalnya. Sastrawan itu kemudian tak bisa pulang ke kampung halamannya sendiri sampai pada waktu tertentu, dan di tanah pengasingannyalah para sastrawan itu menghasilkan karya sastra. Karya sastra itulah yang kemudian lazim disebut dengan sastra eksil. Untuk di Indonesia sendiri tidak diketahui kapan istilah sastra eksil itu muncul. Ada kemungkinan besar bahwa kemunculan istilah sastra eksil di Indonesia yakni sesudah terjadinya peristiwa G 30 S 1965, meskipun sebelum 1965 sudah banyak sastrawan yang mengalami pengasingan atau diasingkan yang kemudian menghasilkan karya sastra. Kemunculan istilah sastra eksil karena peristiwa 1965 itu semisal terlihat dari karya Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil (2002)[28].
Di samping itu, apakah sebutan karya sastra eksil hanya berlaku bagi para sastrawan Indonesia yang berada di luar negeri karena diisolasi sehingga tak dapat pulang ke tanah airnya sendiri? Bagaimana dengan peristiwa pengasingan terhadap sekitar 13.000 orang yang dituduh komunis ke Pulau Buru, dan di sana menghasilkan karya sastra? Hal itu terlihat dari kerja keras Pramoedya Ananta Toer yang berhasil menyelesaikan novel tetralogi Pulau Burunya. Apakah hal itu dapat disebut sebagai sastra eksil? Tampaknya, dalam rata-rata anggapan para penulis Indonesia, karya Pram tidak dapat disebut sebagai sastra eksil, kecuali Dorothea Schaefter[29]. Hal itu terlihat dari label “sastra eksil” yang biasa diberikan pada orang yang diasingkan di luar negeri, sementara karya dari pengasingan di dalam negeri tak pernah dilabeli “sastra eksil”, terlihat dari sampul karya Pram. Termasuk dari sejumlah judul film eksil Indonesia di luar negeri yang sering melabelkan “eksil”[30]. Dari sini ada anggapan menurut orang Indonesia bahwa pengertian eksil merupakan tragedi pembuangan ke luar negeri. Apakah mungkin hal itu disebabkan perbedaan teritori negara yang menyebabkan istilah “sastra eksil” lebih terasa bagi orang Indonesia di luar negeri? Artinya, orang yang diasingkan di dalam negeri sendiri, seperti tidak terasa hidup sebagai orang buangan atau eksil di tanah pengasingan orang lain (meskipun diasingkan di pulau lain).
Kemudian, apakah karya sastra yang dihasilkan para tenaga kerja Indonesia di Hongkong dapat disebut sebagai karya sastra eksil? Semisal, para tenaga kerja wanita asal Indonesia di Hongkong dapat menerbitkan sejumlah antologi puisi dan cerpen, kerap mendatangkan para pembicara dari tanah air, dan bahkan mendirikan Forum Lingkar Pena[31]. Dengan begitu, apabila melihat perkembangan karya sastra eksil pascakolonial India, terlepas dari perbandingan mutu karakter sastra eksil Indonesia dan India, para imigran pencari pekerjaan itu merupakan eksil ekonomi. Para eksil asal India merupakan imigran yang niat awalnya mencari pekerjaan di Eropa atau Amerika. Sampai kemudian mereka memiliki keluarga, dan di antara keluarga para imigran itu ada yang menjadi sastrawan. Hasil karya sastra mereka dapat disebut sebagai sastra eksil pascakolonial.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengertian yang jelas perihal sastra eksil Indonesia diperlukan suatu penelusuran penggunaan istilah eksil, definisi, anggapan dan sejauhmana batasan pengertian ruang eksil bagi orang di Indonesia, atau bahkan peneliti asing. Dengan begitu, mudah-mudahan dapat diketahui apa maksud eksil di Indonesia, dan apa keterkaitannya dengan sastrawan atau karya sastra. Apalagi dalam kaitan karya sastra, mengapa sastra eksil mendapat satu tempat yang beda dan perhatian luas. Terlebih, apabila mengikuti perkembangan sastra eksil dunia, apakah karya sastra eksil sastrawan Indonesia memiliki nilai yang sama.
Dengan demikian, untuk melihat tentang arti makna sastra eksil dan perkembangannya, perlu dilihat sastra eksil dalam kerangka eksterioritas dan penilaian karya sastra. Dalam tradisi orientalis, eksterioritas diartikan sebagai perihal penyingkapan Timur untuk Barat[32]. Apabila maksud gagasan eksterioritas itu dipakai sebagai perumpamaan untuk melihat sastra eksil Indonesia, apakah orang Indonesia yang tinggal di Barat dan menghasilkan karya sastra eksil sebagai upaya mengabarkan tentang kebudayaan asalnya untuk orang Barat? Atau, mereka berkedudukan sebagai juru bicara kebudayaan Barat untuk dikabarkan untuk masyarakat asalnya? Lepas dari pertanyaan itu, dalam hal ini saya tidak ingin membuat anggapan yang terlalu jauh. Hanya saja, kerangka eksterioritas ini untuk melihat posisi orang Indonesia yang berada di luar negeri, dan bagaimana menilai kondisi negerinya sendiri, seperti yang tercermin dalam karya sastra eksilnya.
Dalam perkembangan kritik sastra eksil pascakolonial orang India di Eropa atau Amerika, kerangka eksterioritas menjadi sasaran kritik balik sastra pascakolonial di India sendiri. Penilaiannya diarahkan bahwa sastrawan imigran itu sebagai orang yang tidak mengerti jiwa India sesungguhnya, ahistoris, sehingga dituduh sebagai jubir India untuk kepentingan Barat. Karena itu, prestasi mereka kerap dikaitkan dengan apresiasi masyarakat Barat terhadap informasi yang diberikan sastrawan imigran pada Eropa atau Amerika. Tetapi, di pihak lain, ada kekhawatiran di tengah masyarakat Barat bahwa perkembangan sastra eksil pascakolonial India merupakan ancaman yang sesungguhnya bagi pemilik sah kesusastraan berbahasa Inggris yakni orang kulit putih. Lepas dari perdebatan tentang perkembangan sastra eksil pascakolonial India, dalam tulisan ini, saya menggunakan kerangka eksterioritas untuk sampai pada tahap penilaian atas karya sastra eksil yang akan dibahas di bawah ini.
Dengan demikian, kerangka eksterioritas dan penilaian sastra semoga dapat menjawab analisis sastra eksil Indonesia, dalam diskusi kali ini. Tulisan ini sengaja diarahkan atas beberapa karya eksil Utuy Tatang Sontani, seorang sastrawan Indonesia yang tinggal di Rusia hingga akhirnya wafat karena tak dapat pulang ke tanah airnya sendiri akibat peristiwa 1965.

Anjing Sebagai Teman Bermain Rajawali
Utuy Tatang Sontani mempersonifikasikan dirinya sebagai rajawali. Menurutnya, rajawali merupakan sosok (binatang) yang terbang bebas, sendirian dan tidak terikat apapun kecuali keindahan itu sendiri. Begitulah nasib seorang pengarang. Ketika Utuy pergi ke Tiongkok dan tidak berhasil pulang kembali ke tanah airnya, maka dia benar-benar telah menjadi seekor rajawali, yang seandainya dapat terbang bebas, mungkin dia bisa pulang ke tanah airnya sendiri, tapi akibat trauma PKI yang dibuat Orde Baru sendiri, Utuy telah benar-benar menjadi seekor rajawali yang tidak bebas, asing, kesepian dan kedinginan di Uni Soviet. Di tengah keasingannya di Uni Soviet itu, dalam dunia kepengarangan, Utuy memang masih seekor rajawali, yang ingatannya menerawang jauh dan dalam kesendirian itu ia masih memiliki kebebasan untuk menulis. Tercatat, ada sembilan karya eksil Utuy Tatang Sontani[33], dan rata-rata belum diterbitkan di Indonesia. Meskipun, pada 1950-an, Utuy mendapatkan tempat julukan sebagai “raksasa dramarturg” pada masanya, yang karyanya mendapat sambutan luas masyarakat.
Untuk kebutuhan analisa tentang kesusastraan eksil Indonesia dalam diskusi kali ini, saya ingin mengulas cerpen Anjing, meskipun kapasitas saya sendiri belum bisa mengulas karya sastra sebagaimana layaknya kritikus. Mudah-mudahan bisa serupa kritikus sastra.
Anjing merupakan cerpen eksil Utuy Tatang Sontani, yang ditulisnya ketika ada di Uni Soviet (Rusia) pada 1975. Kisah cerpen itu berlatarbelakangkan kehidupan sang tokoh utama yang anonim (mungkin Utuy sendiri?) di Tiongkok dengan teman barunya kala itu yakni seekor anjing. Dalam cerita itu, tokoh utama yang diceritakan tiba-tiba dibuntuti seekor anjing yang tidak diketahui asalnya. Tokoh utama itu pada awalnya tidak menyukai anjing, tapi karena anjing itu kerap mengikutinya, akhirnya ia membiarkan anjing itu mengikuti dirinya. Dengan begitu, lama-kelamaan ia menjadi teman hidupnya di dalam kamp militer pemerintah Tiongkok. Seorang rekannya menilai tokoh utamanya yang setelah berteman dengan seekor anjing, ia tampak lebih segar dan tidak terlihat kesepian. Ia tampak tidak seperti biasanya yang kerap murung atau marah karena sering tidak sepaham dengan orang-orang PKI di Tiongkok. “Setelah bapak memelihara anjing, bapak jadi segar, tidak lagi kelihatan kesepian,” ujar Kustini pada tokoh dalam cerpen itu. Karena itu, secara perlahan, ia mulai menerima kehadiran anjing itu untuk menjadi teman hidupnya.
Padahal dalam kepercayaan masyarakat Tiongkok, anjing itu merupakan binatang yang paling hina. Sebab, anjing adalah binatang yang suka menjilat, jadi ia merupakan perumpamaan untuk orang yang suka “menjilat” kekuasaan. Sang tokoh utama tak menampik itu, tapi ia menyangi sebagaimana layaknya anaknya sendiri. “Betapa tidak sayang, setiap menatapi mata saya, saya teringat anak saya sendiri di Indonesia yang sampai sekarang sudah sekian lama berpisah dengan saya,” ujarnya. Saking sayangnya, ketika anjing itu dibunuh oleh militer Tiongkok yang bertugas di kamp pengungsian orang Indonesia, ia sangat marah. “Betapa tidak (sengit), sebab anak pungut saya itu sudah tidak ada lagi. Sudah dibunuh anjing2 dan dimakan anjing2!” katanya.
Kala itu, memang penguasa militer Tiongkok mewajibkan orang Indonesia yang berada di negeri tersebut mempelajari tentang kesalahan PKI dalam kup 1965. Mereka ditempatkan di kamp pengungsian untuk mempelajari gagasan Mao Ce-Tung. Penekanan mengakui perasaan bersalah dan keharusan belajar gagasan Mao itu dinilai Utuy sebagai upaya pemaksaan, serta mendewa-dewakan Mao. Terlebih, orang PKI yang berada di kamp pengungsian pun menjadi bertindak sewenang-wenang terhadap orang Indonesia yang merasa tidak harus belajar, termasuk di dalamnya Utuy sendiri. Karena itu, orang Indonesia yang berada di Tiongkok terpecah menjadi dua, yakni kelompok penentang dan “pemerintah”. Kelompok penentang merupakan terdiri orang-orang yang tidak senang dipaksa untuk belajar kesalahan kup 1965 dan mempelajari gagasan Mao. Utuy masuk dalam kelompok ini. Kemudian, ada kelompok “pemerintah” yang pro untuk menyiapkan revolusi lanjutan PKI di Indonesia. Karena itu, kelompok ini sangat tidak senang terhadap apapun sikap kelompok penentang. Dalam hal ini, Utuy mencontohkan tentang pemeliharaan anjing itu.
Dalam cerita cerpen itu, anjing sang tokoh utama dibunuh oleh militer Tiongkok. Tak diketahui alasannya, mungkin karena orang Indonesia yang memelihara anjing itu banyak, dan pemerintah Tiongkok melakukan perhitungan dengan jumlah makanan yang mesti diberikan. Maka, sebelum peristiwa pembunuhan atas anjing itu, sang tokoh mendengar desas-desus tentang pelarangan itu. Alasannya ialah adanya penyakit anjing gila. Kemudian, alasan kebisingan suara anjing. Alasan ketersediaan makanan untuk orang-orang Indonesia. Hingga akhirnya alasan bahwa pemeliharan anjing merupakan orang yang memiliki pikiran borjuis. Semua alasan itu ditelan mentah oleh sang tokoh utama, dan benar saja anjingnya dibunuh, daging-dagingnya pun dibagi-bagi. Karena itu, atas tindakan pembunuhan terhadap anjing itu, Utuy menilai tidak lebih seperti ulah seekor anjing. “Sebab anak pungut saya itu sudah tidak ada lagi. Sudah dibunuh anjing2 dan dimakan anjing2!” Bentuk tekanan dan kekuasaan itu yang tidak disukai oleh Utuy. Dengan begitu, ia merasa bahwa tekanan itu merupakan bentuk pemaksaan, merendahkan, dan membangun hubungan yang tidak setara. Dari sini muncul bangunan antara inferioritas dan superioritas.
Dengan demikian, tampak bahwa cerpen Anjing sebagai usaha membangun kerinduan Utuy Tatang Sontani terhadap keluarga dan kampung halamannya sendiri, sekaligus bentuk kekesalannya terhadap komplotan orang Indonesia dengan militer Tiongkok. Sebagai upaya menepis kerinduan, Utuy mengumpamakan anjing seperti anaknya sendiri, hidup bersamanya, lalu merasa kehilangan ketika dibunuh. Akibat pembunuhan anjing itu, Utuy sangat merasa tidak senang karena kecongkakan militer, dan ia merasa benar-benar kehilangan, laiknya kehilangan anak sendiri.

Penutup
Saya kira, memang dalam makalah ini, khusus untuk mendiskusikan tentang peristiwa exiling tidak cukup. Artinya, untuk latar, definisi dan pengertian tentang eksil itu sendiri perlu dibahas menyeluruh. Tapi, ketika melihat begitu banyaknya data sejarah tentang peristiwa eksil, saya kira yang bisa kita tunggu ada orang yang meneorisasikan tentang peristiwa itu, dan menjelaskan duduk soal kesewenang-wenangan kekuasaan dalam menyingkirkan orang. Semisal, untuk saat ini, betapa mengerikannya orang-orang Ahmadiyah harus merasa asing sendiri di kampung halamannya karena perbedaan akidah di masyarakat Islam Indonesia? Bukankah itu soal kesenangan kekuasaan menyingkirkan orang-orang yang tidak sepaham? Umat Ahmadiyah seperti sengaja diasingkan di negerinya sendiri, bernasib sial seperti korban pascaperistiwa G 30 S 1965.
Sementara itu, untuk sastra eksil, selama ini memang rujukan kajian sastra eksil kerap bersinggungan dengan karya eksil imigran India yang ditulis dalam bahasa Inggris. Mereka pionir menulis karya sastra dalam bahasa di luar bahasa ibunya sendiri. Kemungkinan besar, tujuannya adalah untuk “didengarkan”. Di samping, tema-tema yang dihadirkan bersifat perlakuan rasial orang-orang dari negeri yang tinggali. Kemudian, mereka balik menyerang dengan persoalan yang dihadapi, dan diungkapkan dalam bentuk bahasa ibu tempat mereka tinggal. Hal itu terlihat dari karya Bharati Mukhreeje. Karena itu, ketika para sastrawan imigran India itu berhasil mengungkapkan masalah yang mereka hadapi dengan bahasa negeri yang mereka tinggali, muncullah perhatian apresiasi atas karya mereka.
Hal itu, saya kira berbeda dengan sastra eksil Indonesia, khususnya pasca 1965. Saya tidak tahu apakah orang-orang eksil Indonesia mendapat perlakuan rasial dari negeri tempat mereka tinggal. Saya belum menemukan bukti itu, meskipun kemungkinan mendapatkan perlakuan rasial itu ada. Memang, rasanya tidak pantas menyamakan kasus eksil orang Indonesia dan India. Setidaknya, eksil Indonesia mendapat perlakuan berbeda dengan eksil India, seperti adanya jaminan kesejahteraan untuk orang Indonesia dari negeri tempat mereka tinggal, semisal di Belanda. Apakah karena mendapatkan perlakuan yang berbeda itu, sehingga mereka tidak “menggugat” dalam bentuk kesusastraan? Dengan begitu, yang tampak ialah kerinduan akan negerinya sendiri, penyesalan atas sikap pemerintah negerinya, sehingga ditulis dalam bahasa ibunya sendiri, dengan begitu karya sastranya mereka tujukan untuk dibaca masyarakat di negerinya sendiri. Hal itulah yang kemudian menjadi kritik atas karya sastra eksil Indonesia dan tidak bisa disamakan dengan karya sastra eksil India—yang kemudian meneorisasikan dalam sastra pascakolonial. Maka, sepertinya layak dikutipkan pertanyaan Soeprijadi Tomodihardjo, adakah sastra eksil (Indonesia)[34]? Dengan demikian, apabila garis teori tentang sastra pascakolonial sudah dirumuskan orang India, sementara para peneliti Indonesia belum ada yang merumuskan secara serius tentang sastra eksil orang Indonesia, saya kira, mungkin untuk sementara waktu sembari kita menunggu, kita perlu menyebutnya sebagai sastra avonturis? Saya tidak tahu.

Condongcatur, 25 Feb 2011.






[1] Naskah ini disampaikan untuk diskusi bulanan Komunitas Kembang Merak “Eksterioritas Sastra Eksil Pasca 1965” bersama Dr. Katrin Bandel, di Perpustakaan Kota Yogyakarta, Sabtu 26 Februari 2011.
[2] Pemilik lima ayam kate dan dua belas telornya. Naskah ini merupakan gagasan awal penelusuran kisah sastrawan Sunda. Mudah-mudahan naskah ini bisa diselesaikan, dan paling minimal dapat jadi skripsi di Jurusan Ilmu Sejarah FIB UGM. Aktif di Komunitas Kembang Merak
[3] Apabila merujuk pada pendapat yang dilontarkan Ludmila Demidyuk dalam film dokumenter “Gerimis Kenangan dari Sahabat Tak Terlupakan”, bahwa pilihan Utuy tinggal di Uni Soviet—dan mengapa tidak ke negeri lain, seperti Belanda, dll—karena dianggapnya sebagai negeri yang dapat mewujudkan keadilan lewat ideologi komunismenya. Tetapi, saya kira alasan yang tampak logis ialah karena perlakuan semena-mena pemerintah Tiongkok terhadap Utuy, dan Uni Soviet merupakan negara yang banyak menerjemahkan karya Utuy. Hal itu terlihat dalam otobiografinya Di Bawah Langit Tak Berbintang (2001) dan cerpen Anjing-nya (1975), Utuy Tatang Sontani merasa tidak kerasan hidup di Tiongkok karena diperlakukan seperti tahanan politik yang dikader militer Tiongkok untuk mengakui kesalahan PKI akibat kegagalan kup 1965, dan menyiapkan revolusi lanjutan di Indonesia. Dengan begitu, kehidupan orang Indonesia di Tiongkok dikurung di kamp. Sampai-sampai anjing pun tak diperkenankan ada di tengah kehidupan orang Indonesia di kamp.
[4] Gambaran ini saya cuplik dari potongan cerita film dokumenter “Gerimis Kenangan dari Sahabat Tak Terlupakan” (2006) oleh Seno Joko Suyono.
[5] Alex Supartono, “Rajawali Tak Bisa Pulang: Karya-karya Eksil Utuy Tatang Sontani”, dalam jurnal Kalam No.18/2001. Hal. 134. Lebih jauh, Utuy Tatang Sontani, Di Bawah Langit Tak Berbintang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001). Hal. 74.
[6] Sesungguhnya dalam buku itu, juga dicantumkan foto usai seminar “Marxisme dan Leninisme dalam Perspektif Budaya” di Fakultas Sastra UI 9 Juni 2000, yang dihadiri Taufiq Ismail, Pramoedya Ananta Toer dan Martin Aleida. Dalam buku itu, Taufiq Ismail menyebutkan bahwa mereka sudah berdamai total. Tetapi, peristiwa ini tidak penting untuk saya soroti, karena pada kenyataannya memang dalam polemik itu yang tampak ialah sosok Taufiq Ismail dan Pram.
[7] Dalam penerbitan kembali buku-buku Utuy Tatang Sontani pasca-1998, tampaknya Taufiq Ismail menjadi sosok penting. Hal itu terlihat dari pemberian kata pengantar atas dua buku Utuy yang diterbitkan kembali oleh Balai Pustaka pada tahun 2001, yakni Tambera dan Si Kabayan: Dua Libretto. Mungkinkah hal ini karena dorongan Taufiq Ismail?
[8] Pramoedya Ananta Toer, “Berkenalan dengan Utuy Tatang Sontani”, Siasat, 7 September 1952.
[9] Ajip Rosidi, “Kata Pengantar”, dalam Utuy Tatang Sontani, Di Bawah Langit Tak Berbintang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001). Hal. 7-20.
[10] Ajip Rosidi, Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2008). Hal. 603-604.
[11] Taufiq Ismail, “Sisa Rantai Dendam, Puing Perang Dingin”, dalam Fadli Zon (peny.), Setelah Politik Bukan Panglima Sastra: Polemik Hadiah Magsaysay Bagi Pramoedya Ananta Toer, (Jakarta: IPS, 2009). Hal. 195-210.
[12] Lebih lanjut, Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto, (Jakarta: Elsam, 2004). Hal. 39-57.
[13] Utuy Tatang Sontani. Pemuda Telanjang Bulat: Dongeng Tiga Malam. Moskwa. 1979. Tidak diterbitkan. Hal. 2. Karya ini merupakan salah satu karya eksil Utuy yang belum diterbitkan, dan dapat diakses di Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin Jakarta. Dalam tulisan itu, Utuy tidak menyebut langsung perihal pengasingannya itu mirip kisah Ciung Wanara. Tetapi, saya beranggapan, kisah apa lagi yang mewakili tentang  “Seorang raja yang membuang anaknya sendiri yang masih bayi, tapi bayi yang masih kuncup itu lalu dipungut oleh kakek-nenek jurutani dan terus dipeliharanya sampai menjadi dewasa, sampai akhirnya bisa berhasil menunaikan tugas hidupnya sebagai seorang anak manusia yang dicecerkannya”, seandainya bukan kisah Ciung Wanara? Kisah Ciung Wanara itu sendiri diceritakan kembali oleh Ajip Rosidi. Lihat Ajip Rosidi, Tjiung Wanara, (Jakarta: Gunung Agung, 1961).
[14] Istilah “keluarga organisasi” PKI saya kutip dari buku Saskia Weiringa, Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI, (Yogyakarta: Galang Press, 2010). Hal. 24.
[15] Kisah tentang kamp kaderisasi anggota PKI di Tiongkok dikisahkan oleh Utuy Tatang Sontani dalam memoarnya, Di Bawah Langit Tak Berbintang, (Jakarta: Pustaka Jaya. 2001) khususnya Bagian Kedua. Dan, Alex Supartono, “Rajawali Tak Bisa Pulang: Karya Sastra Eksil Utuy Tatang Sontani”, dalam jurnal Kalam, No.18/2001. hal. 133-159.
[16] David T Hill. Knowing Indonesia Afar: Indonesian Exile and Australian Academics. http://arts.monash.edu.au/mai/asaa/davidhill.pdf, diunduh pada tanggal 26 Juni 2010 pukul 15.18.
[17] Saut Situmorang, Politik Sastra, (Yogykarta: Penerbit Sic, 2009). Hal. 59.
[18] Hesri Setiawan, Sastra Eksil Indonesia, diunduh http://www.journalbali.com/literature/esai/sastra-eksil-indonesia.html, pada Senin, 14 Februari 2011, pukul 14.23.
[19] Harry A. Poeze, dkk, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, (Jakarta: KITLV, ). Hal. 4-7.
[20] R Ajoe Abdoerachman, Lalampahan Ka Eropa, (Batavia: Balai Poestaka. 1930).
[21] Pramoedya Ananta Toer (peny.), Cerita dari Digul, (Jakarta: KPG, 2001).
[22] Hersri Setiawan, Sastra Eksil Indonesia, diunduh http://www.journalbali.com/literature/esai/sastra-eksil-indonesia.html, pada Senin, 14 Februari 2011, pukul 14.23.
[23] R. Ajoe Abdoerrahman, ibid.
[24] Semisal, Saut Situmorang, Alex Supartono, dan beberapa sinematek film eksil mendefinisikan eksil adalah tujuannya ke luar negeri. Lihat, Saut Situmorang, Op. Cit., 2009. Alex Supartono, Op. Cit., 2001. hal. 133-159. Atau, film dokumenter “r.i garapan Andrew Dananjaya.
[25] Dorothea Schaefter, op. cit. Untuk melihat tidak adanya perbedaan antara dalam negeri dan luar negeri, dalam kajiannya Dorothea memasukan nama Pramoedya Ananta Toer sebagai penulis roman kuartet Pulau Buru. Di Pulau Buru itu, Pram sengaja dibuang atau diasingkan oleh rezim Soeharto.
[26] Asahan Alham (peny.), Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil, (Jakarta: Yayasan Lontar, 2002).
[27] J.J Kusni, Di Tengah Pergolakan Turba Lekra di Klaten, Yogyakarta: Ombak. 2005.
[28] Asahan Alham (peny.), Op. Cit. Buku ini disusun atas kumpulan syair para eksil politik Indonesia di negeri Belanda. Tapi, tidak semua eksil berhasil masuk dalam kumpulan karya ini, semisal Sitor Situmorang, J.J Kusni, dll, yang tidak tinggal di negeri Belanda. Artinya, kemungkinan besar, buku ini hanya menerbitkan karya penyair eksil yang ada di Belanda saja.
[29] Dorothea Schaefter. Indonesian Literature in Exile, 1965-1998. http://www.iias.nl/files/IIAS_NL52_07.pdf, diunduh pada tanggal 3 Juli 2010 pukul 02.07.
[30] Semisal film dokumenter berjudul “r.i” tentang Restaurant Indonesia yang ada di Paris. Restoran itu didirikan oleh para eksil politik Indonesia akibat peristiwa G 30 S 1965, semisal Salim Said dan Kusni Salang.
[31] Bonari Nabonenar, “Buruh Indonesia-Hongkong yang Saya Kenal”, dalam jurnal Perempuan No. 56/2007. Hal. 91-101.
[32] Edward Said, Orientalisme, (Bandung: Pustaka, 2001). Hal. 27.
[33] Alex Supartono mencatat judul itu mencatat dari penelitiannya ada sembilan judul yakni, Bukan Orang Besar (1965), Kolot Kolotok (1976), Pemuda Telanjang Bula: Dongeng Tiga Malam (1979), Di Bawah Langit Tanpa Bintang (TT), Benih (TT), Tumbuh (TT), Anjing (1975), Berbicara Tentang Drama (TT). Dalam tulisannya, Alex sendiri memang tidak berhasil mendapatkan semua naskah itu, sebab karib Utuy Vilen Sikorsky tidak memperkenankan untuk dikopi. Alex, Op. Cit., 2001. Hal. 153. Karena itu, mungkin sembilan naskah ini tidak berhasil diterbitkan di Indonesia, kecuali yang saya ketahui hanya cerpen Anjing dan Di Bawah Langit Tanpa Bintang sudah diterbitkan penerbit Indonesia. Cerpen Anjing terbit bersama cerpen lama Utuy lainnya yakni Menuju Kamar Durhaka (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002). Hal. 209-217. Sementara itu, untuk naskah Di Bawah Langit Tanpa Bintang diterbitkan dengan judul Di Bawah Langit Tak Berbintang (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001).
[34] Soeprijadi Tomodihardjo, “Sastra Eksil, Adakah?”, diunduh http://sastra-indonesia.com/2009/04/sastra-eksil-adakah/, Senin, 14 Februari 2011, 14.29.
0 Komentar untuk "Karya Sastra Eksil Sebagai Ungkapan Kesepian Utuy TS"

Back To Top